Ilmam Mukhlis wrote:
salah satunya adalah seperti yang bung Ilmam dan bung Piji sebutkan yaitu masalah perizinan pengeboran
ini bukannya orang yang sama ya bung rendi?

thanks anyway buat jawabannya rendi, btw kalo perusahaan asing udah ada yang pernah berinvestasi di bidang ini belom di Indonesia? kalo misalnya ada perusahaan apa ya bung rendi?
terimakasih

hahaha maksud saya bung Ilmam dan bung Michol, karena jawaban saya diatas dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan anda berdua
Menurut sepengetahuan saya, Chevron Corporation yang diwakili oleh anak perusahaanya, yaitu Chevron Geothermal and Power Operations (GPO) merupakan satu-satunya operator asing yang bergerak di bidang Geothermal Energy di Indonesia. Daerah operasinya antara lain berada di daerah Darajat, Kabupaten Garut, di Gunung Salak, dan Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat. Listrik yang dihasilkan dari PLTP Gunung Salak, Jawa Barat merupakan produksi dengan kapasitas terbesar di Indonesia, yaitu 330 MW
Ada beberapa dokumentasi yang saya dapat di google, tampak bentangan pipa besi PT Chevron GPO yang berfungsi mendistribusikan Gas Alam keberbagai terminal. (
sources:
debijani08.multiply.com/journal/item/45/...._Garut_15_Juni_2008)




rahman agil prawatya wrote:
Arianda Akbar wrote:
Ilmam Mukhlis wrote:
wah luar biasa sekali artikel nya bung rendi
btw kalo emang bener 40% dari sumber dunia sbnernya permasalahan konkret hanya sekian persen yang digunakan apa ya bung rendi?
apakah masalah perizinan tempat pengeboran? yang notabennya karena kultur kita mengalami kesulitan dengan masyarakat sekitar? atau birokrasi dari pemerintah yang menyulitkan?
karena ini merupakan sektor yang sangat potensial kalau kita manfaatkan semaksimal mungkin

regards!
oh iya waktu itu dikuliah topik khusus A juga pernah dibahas tentang permasalahan kultur yang di Bali ya. Padahal sangat disayangkan Bali mempunyai potensi yang cukup bagus untuk geothermal.
Selain itu, konsumen Pertamina Geothermal Energi (PGE) yang cenderung tunggal yaitu hanya ke PLN juga menyulitkan. Secara bisnis, harga per kWh listrik pun belum sepenuhnya menguntungkan. Kendala terbesar adalah bisnis panas bumi memerlukan investasi sangat tinggi dan cukup beresiko.
Sementara, harga energi alternatif seperti panas bumi masih kalah murah dari harga energi konvensional (BBM). Tidak seimbangnya antara biaya investasi, membangun infrastruktur, dan pengembangan energi dengan harga jual membuat bisnis ini tidak dilirik investor.
selain itu,
Salah satu persoalannya adalah banyaknya sumber geotermal berada di kawasan hutan yang dilindungi. Sehingga pemerintah harus mengeluarkan izin mengebor sumber di area konservasi namun tetap memprioritaskan pembangkit listriknya berada berada di luar area hutan.
Benar sekali Bapak Agil, terimakasih atas pendapatnya yang tentunya sangat bermanfaat bagi kita semua
Salah satu tantangan terbesar bagi pengembangan di bidang ini adalah pembiayaan. Sumber tenaga geothermal kira-kira akan menghabiskan biaya lebih besar dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk riset dan pengembangan sampai bisa digunakan. Tetapi sekalinya didirikan, maka kilang geothermal seperti yang ada di Kamojang Jawa Barat di 1982 bisa mengubah suplai panas vulkanik gratis tidak terbatas menjadi listrik dengan biaya tetap yang lebih rendah dan polusi lebih sedikit, ketimbang batubara. Beberapa PLTP di dunia bahkan masih berproduksi setelah 100 tahun, di Selandia Baru dan Amerika Latin masih berproduksi setelah 50 tahun. Bandingkan dengan umur suatu kilang minyak atau gas yang hanya dapat berproduksi selama 10-20 tahun
Untuk mengembangkan PLTP di Indonesia Pemerintah membutuhkan investasi minimal US$ 19,8 miliar. Investasi tersebut untuk membangun PLTP berkapasitas total 6.867 megawatt (MW) selama 10 tahun, yaitu periode 2009-2018. Sudah ada beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah agar Investor tertarik berbisnis di Bidang ini, salah satunya adalah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 14 Tahun 2008 tentang Harga Patokan Penjualan Tenaga Listrik PLTP yang membuat harga listrik panas bumi menjadi lebih tinggi