Oleh : H.Achmad Rilyadi, SE
Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, Republik Indonesia (DPR-RI)
(Fraksi Partai Keadilan Sejahtera)
Majalah Energi : Edisi November 2010
Pada 1 Juli 2010 lalu, pemerintah menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) dengan rata-rata kenaikan 10% dan kenaikan tertinggi adalah 18% pada sektor pelanggan rumah tangga yang berdaya diatas 900 watt. Kenaikan tersebut sudah disahkan dan tidak dapat diganggu gugat. Kenaikan tersebut dilakukan pemerintah dengan alasan klasik yaitu pengurangan subsidi dalam rangka subsidi silang pada sektor lainnya. Seringkali alasan yang dikemukakan oleh pemerintah adalah dalam rangka pengurangan subsidi listrik sehingga dapat memberikan subsidi silang pada sektor pembiayaan lainnya, yang pada kenyataannya subsidi silang yang diharapkan tidak pernah terjadi atau tercapai. Jelas, tindakan ini menggambarkan adanya upaya terselubung yang dibungkus rapih oleh pemerintah dalam permasalahan kenaikan TDL di tahun 2010 ini. Kenaikan TDL tahun 2010 ini, menggambarkan seakan-akan pemerintah tidak peka terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang masih mengalami krisis. Kenaikan dilakukan menjelang bulan puasa dan lebaran dimana aktivitas ekonomi masyarakat meningkat tajam. Belum lagi harga kebutuhan pokok perlahan naik dikarenakan kondisi alam yang tidak mendukung sektor pertanian.
.
Dengan adanya kenaikan TDL tahun 2010 pemerintah berusaha menaikkan harga pada konsumen yang menggunakan daya diatas 1.300 Watt, padahal hampir 4 tahun belakangan ini tidak ada lagi pemasangan pelanggan listrik baru pada daya 450 Watt dan 900 Watt. Sehingga secara langsung kenaikan TDL tidak hanya dirasakan si-kaya saja tetapi si-miskin pun merasakan dampaknya. Selain itu sektor industri kecil dan menengah (UKM) terkena dampak dari kenaikan TDL ini. Alhasil mereka pun akan meningkatkan harga jual produksi dikarenakan beban biaya produksi yang meningkat karena kenaikan TDL tersebut. Akibatnya produk industri kecil menengah kita pun kalah bersaing dengan produk-produk Tiongkok yang saat ini membanjiri pasaran dalam negeri.
Seperti kita ketahui, investor atau pun pemodal asing pada sektor kelistrikan masih lemah, berdasar catatan saya (Achmad Rilyadi) hanya sekitar 13 persen sektor kelistrikan yang murni dibiayai oleh sektor swasta murni. Salah satu alasan yang paling rasional bagi lemahnya keinginan investor untuk menanamkan modal di bidang kelistrikan adalah rendahnya harga listrik di Indonesia. Sebelum kenaikan 1 Juli 2010 lalu, harga TDL pada kisaran Rp 600 per kWh jauh dari harga keekonomian tarif listrik yaitu kisaran Rp 1.500 per kWh yang diperkirakan tercapai pada 2012 mendatang. Sebagai pertimbangan, Filipina yang telah melakukan divestasi perusahaan listrik milik negaranya saat ini tarif listrik disana sudah mencapai Rp. 1.800,- yang sebelumnya pada kisaran Rp.900,-, juga Thailand yang pada saat subsidi memiliki harga kisaran Rp.850,- saat ini telah mencapai Rp. 2.100,-. Kedua Negara ASEAN tersebut hampir 2 tahun terakhir ini tidak mampu mencegah kenaikan harga jual produksi dalam negerinya dikarenakan tekanan naiknya harga listrik.
Besar peluangnya bila harga keekonomian tersebut tercapai, pemerintah akan mengizinkan investor atau pemodal asing masuk menggeluti bisnis listrik mulai dari produksi hingga distribusinya. Hal ini diperkuat dengan rencana realisasi penawaran saham perdana atau IPO (Initial Public Offering) PLN pada tahun tersebut dalam rangka divestasi. Paket divestasi yang dicurigai sebagai skema liberalisasi di sektor kelistrikan. Dan tepat sekali hal ini merupakan sebuah paket privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terbungkus rapi. Anehnya lagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak mau diaudit dalam hal penggunaan teknologi, dan mengapa PLN tidak kooperatif bekerja sama dengan lembaga Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam usaha pengadaan teknologi kelistrikan. Padahal BPPT sudah terbukti kehandalannya dalam menciptakan berbagai macam teknologi, dari kerjasama dengan industri dalam membuat pesawat terbang (PT Dirgantara Indonesia), kapal (PT PAL), dan kendaraan tempur (PT PINDAD). BPPT juga punya lembaga terkait pembangkitan kelistrikan seperti Badan Lembaga Teknologi Atom Nasional (BATAN). Jika diamati Indonesia sejak tahun 1960 hingga sekarang sudah mempunyai Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) murah seperti yang ada di fasilitas BATAN Bandung yang merupakan reaktor nuklir berskala sedang yang dapat membangkitkan listrik. Bila masalah keamanan yang dijadikan isu utama PLTN, nyatanya saat ini warga Bandung aman-aman saja. Bila kita amati negara lain seperti Jepang, India, dan Cina mereka membuktikan penggunaan teknologi pembangkitan nuklir yang sangat aman. Pencerdasan atau pendidikan harus diberikan pada masyarakat bahwa teknologi paling tinggi dengan biaya paling rendah adalah dengan menggunakan PLTN. Oleh sebab itu teknologi PLTN saat ini menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah Indonesia untuk dikuasai dan dalam pencapaiannya harus didukung penuh masyarakat. Dengan demikian produksi listrik dapat jauh lebih murah dibandingkan harga produksi listrik saat ini.
Menurut saya (Achmad Rilyadi), kenaikan harga listrik akan dipaksakan pemerintah agar mengalami kenaikan setiap setengah tahun sejak pertengahan tahun 2010. Yang harus diingat untuk menarik para investor dalam proses IPO adalah dengan menaikkan harga TDL yang bisa memancing minat mereka untuk terlibat dalam proses divestasi tersebut. Permasalahan liberalisasi sektor kelistrikan telah diperkuat oleh Undang-Undang No 30/2009 tentang ketenagalistrikan yang pengelolaannya dapat dikerjakan oleh selain PLN. Sejak diberlakukan, undang-undang tersebut telah berhasil memancing minat beberapa investor asing seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jepang dan China dimana negara-negara tersebut adalah penguasa 85% pasar tenaga listrik diseluruh dunia. Semakin jelas bahwa kenaikan tarif dasar listrik bukanlah persoalan ketidakmampuan pembiayaan subsidi APBN, tetapi kecenderungan pemerintah untuk mengejar harga keekonomian listrik dengan desakan dari investor asing.
Solusi menurut saya (Achmad Rilyadi), yang seharusnya dilakukan pemerintah pada sektor kelistrikan dalam upaya mengembalikan kedaulatan ekonomi di tangan rakyat dan tidak berpihak pada investor asing maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan :
- Melakukan audit pembiayaan sumber tenaga listrik yang ada.
Melalui audit tersebut masyarakat memiliki gambaran yang jelas tentang harga keekonomian yang seharusnya, termasuk seberapa besar subsidi yang harus diberikan pemerintah pada sektor kelistrikan.
- Penerapan teknologi pembangkitan dengan berbasis sumber energi terbarukan.
Sumber energi terbarukan di Indonesia sangatlah melimpah ruah. Sumber energi terbarukan di Indonesia antara lain : angin, sinar matahari, air, panas bumi dan sumber energi hayati. Seperti Uji coba PLN di pantai Pangandaran Jawa Barat dengan menggunakan tenaga angin. Teknologi pembangkitan skala kecil ini murah dan mampu menerangi listrik bagi 32 kepala keluarga yang berada di wilayah pantai tersebut. Selain itu berlimpahnya sungai-sungai di Indonesia dapat dimanfaatkan dengan menggunakan teknologi mikrohidro yang pembangkitannya dapat menghidupi listrik hingga satu kecamatan. Panas bumi merupakan sumber energi yang sangat menjanjikan di Indonesia walaupun sumber panas bumi di Indonesia mayoritas berada di pulau Jawa ternyata di pulau-pulau lain juga mempunyai potensi yang besar pula, terbukti dengan ditemukannya sumber energi panas bumi di desa Liki Pinang Awan kecamatan Muara Labuh kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat.
- Peningkatan pengawasan pembiayaan.
Hal ini sangatlah klasik akan tetapi selama ini penggunaan pembiayaan tidak pernah dilaporkan secara serius. Pelaporan tersebut termasuk keseimbangan antara subsidi yang masuk, dana rakyat untuk membayar listrik dan penggunaan anggaran tersebut. Jika telah tercipta skema pengawasan yang baik, maka usaha tersebut dapat meminimalisir kebocoran subsidi listrik yang sudah berjalan.