Isu energi telah cukup lama terhembus di dunia. Fakta bahwa ketersediaan minyak bumi, yang saat ini sebagai sumber energi utama di dunia, semakin lama semakin berkurang telah membuat para ilmuwan bekerja lebih keras untuk mencari sumber energi baru. Sumber energi baru ini sedapat mungkin menggunakan sumber daya yang terbarukan sehingga dampak yang diberikan pada lingkungan dapat diminimalkan. Potensi sumber daya energi terbarukan ini pada tiap-tiap negara tentu berbeda. Salah satu potensi sumber daya energi terbarukan di Indonesia adalah memanfaatkan cahaya matahari.
Saat ini banyak negara berlomba-lomba untuk menciptakan sel photovoltaic berdasar material organik dengan teknologi yang berkembang bernama thin-film organic photovoltaics (OPV) dan dye-sensitized cells (DSCs). Perlombaan ini telah menjadi tren di berbagai negara. Tren terbentuk karena keunggulan ekonomis dari penggunaan material organik, diantaranya ongkos pembuatannya secara umum lebih rendah, fleksibilitas dan kinerja dalam cahaya rendah atau berubah, membuat alat ini kompetitif untuk berbagai aplikasi seperti elektronik portabel untuk sistem bangunan terintegrasi, pengepakan, dan fabrikasi cerdas.
Organik photovoltaic relatif murah untuk fabrikasi menggunakan proses pelapisan yang teruji dan murah seperti pencetakan inkjet atau spin coating pada substrat yang besar dan fleksibel seperti plastik. Produk fleksibel adalah cahaya, mudah untuk dipasang, dan serbaguna. Sebagai contoh, alat ini mudah digulung untuk disimpan. Selain itu, sifat alami dari material photoactive membuat OPV dan DSCs berkinerja baik untuk cahaya dim atau berubah, tidak seperti silikon.
Diagram teknologi organic photovoltaic sumber:
www.tkk.fi/Units/AES/studies/dis/halme.pdf
Saat ini effisiensi (PCE )yang dicapai oleh thin-film organic photovoltaic pada skala lab dapat mencapai 6-8% sedangkan untuk DSCs , berupa hybrid yang menggabungkan dye-dye organometallic dan mesoporous inorganic oxideshybrids, telah mencapai 11%. Namun, untuk skala produksi massal effisiensi tertiinggi yang dicapai hanya berkisar pada 2% saja.
Salah satu alasan mengapa efisiensi rendah karena mayoritas photovoltaic organik dengan efisiensi tinggi memerlukan lapisan aktif organik yang sangat tipis (~ 100nm). Hal ini sangat menantang untuk memproduksi sel surya organik dengan lapisan tipis aktif melalui roll untuk pencetakan roll demi roll. Di sisi lain, ketika ketebalan dari lapisan aktif organik meningkat ke 200-300nm, resistansi seri meningkat dan menurunkan fill factor sehingga menurunkan effisiensi (PCE).
Indonesia perlu untuk ikut mengembangkan teknologi organic photovoltaic ini. Hal ini karena organic photovoltaic punya keunggulan ekonomis yang telah dipaparkan sebelumnya. Selain itu, bahan organik merupakan bahan yang teruraikan di alam sehingga ramah lingkungan. Effisiensi yang dicapai peneliti-peneliti luar negeri saat ini tidak terlalu besar sehingga Indonesia memiliki kesempatan untuk mengejarnya. Tambahan pula, Indonesia memiliki keunggulan defacto karena sumber daya alam material organik sangat melimpah di negeri tercinta ini. Pada negara-negara yang memiliki sumber daya alam terbatas bahan material organik ini dapat berupa hasil sintesis contohnya plastik.
Sepengetahuan penulis, Teknik Fisika ITB telah melakukan riset di bidang ini dengan menggunakan teknologi DSCs berbasis ketan hitam. Effisiensi yang dicapai sekitar 1%. Hal ini karena Indonesia belum memiliki lab bersih yaitu lab yang bebas debu dan memiliki temperatur ruangan yang terkontrol sehingga pada proses pencampuran terdapat pengotor-pengotor yang ikut bereaksi dan reaksi berjalan pada temperatur ruangan yang optimal. Pengembangan lebih lanjut tentu memerlukan dukungan dari semua pihak agar teknologi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.
Daftar pustaka :
pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/nl100615e
pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/nn901587x
www.tkk.fi/Units/AES/studies/dis/halme.pdf
www.cea.fr/var/cea/storage/static/gb/lib...122a123veriot-gb.pdf
www.prometheusinstitute.org/admin/resear...taic_Technology-.pdf